Blogger Jateng

Rumah Tangga Hingga Negara: Berbagi Peran Dalam Menghentikan Kekerasan Ekonomi

 

 

Rumah Tangga Hingga Negara: Berbagi Peran Dalam Menghentikan Kekerasan Ekonomi

 

Jakarta, Suarakristen.com

 

Dalam rangka memperingati kampanye tahunan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) tahun ini, Oxfam di Indonesia bersama dengan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) dan Kalyanamitra mengadakan diskusi publik dan media gathering di Ke:Kini Cikini, Jakarta Selatan dengan mengangkat tema “Jurnalisme, Kekerasan Berbasis Gender, dan Ekonomi”. Pandemi COVID-19 yang terjadi selama dua tahun terakhir memberikan pengalaman buruk bagi banyak perempuan dan kelompok marginal yang menjadi penyintas Kekerasan Berbasis Gender, termasuk kekerasan ekonomi atau economic violence.

Emmy Astuti, Direktur ASPPUK menyoroti bahwa peran dalam menghapuskan kekerasan ekonomi ini dapat diambil melalui partisipasi masyarakat dari level rumah tangga hingga pembuat kebijakan.

Dalam fenomena yang kita alami di kehidupan sehari-hari, kekerasan ekonomi tidak hanya terjadi dalam ranah domestik atau rumah tangga saja. Kekerasan ekonomi dapat terjadi ketika pemerintah atau para pembuat kebijakan tidak mengikutsertakan suara perempuan dan kelompok marginal dalam proses pembuatan kebijakan.

“Sebagai upaya untuk mengatasi guncangan ekonomi pandemi dan krisis biaya hidup, 120 negara di dunia saat ini telah bersiap untuk melakukan pemotongan pendanaan layanan publik secara tidak proporsional yang secara langsung akan merugikan perempuan dan kelompok marginal. Kebijakan yang sebagian besar dibuat oleh laki-laki ini adalah salah satu bentuk dari kekerasan berbasis gender,” kata Siti Khoirun Ni’mah, Head of Program Management Oxfam di Indonesia.

Laporan baru Oxfam yang dirilis pada tanggal 25 November 2022, “The Assault of Austerity”, menyebutkan bahwa empat dari lima pemerintah di negara-negara di dunia saat ini mengambil langkah-langkah kebijakan penghematan pasca-pandemi dimana kebijakan tersebut berdampak langsung pada pemotongan alokasi dana layanan publik seperti kesehatan, pendidikan dan perlindungan sosial. Tidak tersedianya fasilitas yang memadai bagi masyarakat terutama perempuan dan kelompok marginal semakin memperkecil peluang perempuan dan kelompok marginal untuk maju dan berdaya. Bagi pasangan berkeluarga, hal ini menimbulkan ketergantungan ekonomi terhadap pasangan mereka, dan hal ini merupakan salah satu bentuk kekerasan ekonomi di ranah domestik.

“Fenomena kekerasan berbasis gender yang saat ini kita hadapi cukup kompleks, dimana satu kekerasan terkadang bisa berujung pada kekerasan lainnya. Contohnya banyak buruh petani perempuan muda di perkebunan sawit yang mengalami pelecehan dari para mandornya yang rata-rata pria paruh baya. Situasi dan keadaan membuat para buruh ini tidak bisa lepas dari jerat kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan bos mereka. Ketika mereka berusaha untuk berhenti dan menghindar dari pelecehan tersebut, artinya mereka akan kehilangan pekerjaan dan beban menanggung hidup dan keluarga mereka meningkat, perekonomian merekapun menjadi semakin terpuruk,” tambah Emmy Astuti.

Kekerasan ekonomi juga dialami perempuan dan kelompok marginal di berbagai industri tak terkecuali dunia jurnalistik. Berdasarkan pernyataan yang dibuat oleh International Federation of Journalists (IFJ), wartawan perempuan yang bekerja lebih lama daripada wartawan laki-laki masih mendapatkan penghasilan lebih sedikit setiap bulannya, dan hanya menempati 37% posisi kepemimpinan dalam industri ini di seluruh dunia.

“Pemerintah, terutama di Indonesia, perlu melakukan sosialisasi yang lebih intensif lagi dalam mengimplementasikan undang-undang terkait kekerasan berbasis gender seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di level lokal serta mengadopsi pilihan kebijakan ekonomi yang berpusat pada manusia untuk mengatasi ketidaksetaraan dan mendukung kesejahteraan bagi kelompok marginal yang terpinggirkan. Kesadaran akan pentingnya meghapuskan kekerasan berbasis gender termasuk kekerasan ekonomi di Indonesia masih perlu ditingkatkan, dan sejatinya peran dalam merealisasikan penghapusan kekerasan berbasis gender perlu dimulai dari kita, keluarga kita, lingkungan kita, hingga para pemimpin kita,” tutup Ika Agustina, Staf Knowledge Management Kalyanamitra.

**”

Tentang 16HAKTP

Kampanye 16 Hari Aktivisme adalah kampanye internasional yang berlangsung selama 16 hari antara tanggal 25 November – Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, dan 10 Desember – Hari Hak Asasi Manusia. Kampanye ini sudah berlangsung sejak tahun 1991, yang berarti sudah berlangsung selama 30 tahun.

Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan berbasis gender terutama kekerasan terhadap perempuan di tingkat lokal, nasional, dan internasional.

 

Baca laporan Oxfam tentang “Assault of Austerity” disini: https://oi-files-d8-prod.s3.eu-west-2.amazonaws.com/s3fs-public/2022-11/bp-assault-of-austerity-prevailing-economic-choices-are-gender-based-violence-221122-en.pdf

Posting Komentar untuk "Rumah Tangga Hingga Negara: Berbagi Peran Dalam Menghentikan Kekerasan Ekonomi"